Langsung ke konten utama

Persib vs Persija = Rival Abadi, Lelucon macam apa ini? (Bagian 2)

Tulisan ini didekasikan kepada Alm. Rangga Cipta Nugraha salah seorang korban yang menambah deretan ribuan orang yang pernah meregang nyawa akibat sepakbola di Indonesia.
Kata “Rival” merupakan kata serapan dari bahasa inggris, dalam kamus Oxford dijelaskan rival is Having the same pretensions or claims; standing in competition for superiority; as, rival lovers; rival claims or pretensions. Dalam konteks bahasa yang lebih ringan rival berati saingan dan lawan. Namun jika rivalitas Persib-Persija dibumbui kata “Abadi” makan sisi kekonyolan lah yang akan didapat.

Kendati persaingan Persib dan Persija dalam sejarahnya tidak panas-panas amat, namun bolehlah kata rival disandingkan untuk menggambarkan hubungan antara Persib dan Persija, sama seperti Persib dan PSM Makassar, atau Persib dan PSMS Medan, atau juga Persib dan Persebaya Surabaya. Karena bagaimanapun juga Persib, Persija, PSMS, Persebaya, dan PSM adalah tim raksasa langganan juara perserikatan.


Di bagian I dijelaskan bahwa dalam kurun waktu 1930-1960an rival terberat Persib adalah Persis Solo dan PSM Makassar. Bagaimana dengan Persija? Di Dekade itu, hubungan anak-anak Bandung dengan Jakarta lebih harmonis dibandingkan dengan tim-tim lain, kondisi ini terjadi Karena kedekatan geografis dan kultur antara Betawi-Sunda. Hubungan ini merembet hingga kepada para pemain. Legenda Persija Jakarta Soetjipto Soentoro bahkan menganggap pemain Persib Max Timisela sebagai saudaranya sendiri, karena kedekatan mereka selama membela timnas dalam tour ke Eropa tahun 1965.

Di awal dijelaskan bahwa bolehlah Persija dimasukan dalam salah satu daftar rival, namun kadar kerivalan itu sendiri sangatlah rendah, jauh dengan persaingan antara Real Madrid dan Barcelona. Kedua tim raksasa spanyol ini selalu silih bersaing dalam persaingan merebut gelar juara, namun kondisi itu bertolak belakang dengan Persib-Persija.

Alasan pertama kenapa rivalitas Persib-Persija tak begitu panas karena sejarah mencatat, selama gelaran kompetisi PSSI digelar sejak tahun 1930, kedua tim belum pernah berhadapan satu sama lain di laga final. Kenapa penulis beragurmen seperti ini, karena berdasarkan penelusuran data, bertemunya kedua klub di babak final biasanya berujung dengan rivalitas yang cukup mendalam. Sebelum tahun 1980an, hubungan Persib-PSMS cenderung lebih harmonis. Namun setelah pertemuan kedua tim di final perserikatan tahun 1983 dan 1985 yang dua-duanya berujung kekalahan bagi Persib, para supporter, pemain dan pengurus Persib amatlah begitu membenci PSMS Medan. Begitupun sebaliknya yang terjadi di final 1990 antara Persebaya kontra Persib. Kekalahan Persebaya 1-2 dari Persib, membuat arek-arek suroboyo begitu membenci barudak Bandung.

Alasan kedua menolak anggapan Persib-Persija adalah “Rival Panas” karena persaingan antara Persija-Persib sangatlah jarang terjadi, di masa-masa kejayaan Persija tahun 1970an, prestasi Persib cenderung turun. Begitupun sebaliknya saat Persib merajai persepakbolaan nasional 1983-1995, Prestasi Persija sangat tenggelam. Jadi tak jarang publik beranggapan match Persib-Persija tak lebih dari laga biasa tim superior melawan tim kurcaci.

Alasan ketiga, biasanya rivalitas panas antara kedua klub dibarengi dengan jumlah pendukung fanatik kedua klub yang angkanya tak berbeda jauh. Contohnya persaingan antara River Plate dan Boca Junior terjadi karena hampir 40 % warga Argentina berpihak kepada River dan 30 % sisanya kepada Boca. Atau “Derby Eternal”Red Star Belgrade-Partizan Belgrade yang membelah Serbia menjadi dua bagian 48% mendukung Red Star dan 30% mendukung Partizan.

Sedangkan untuk Persib-Persija? Jumlah pendukung kedua klub sangatlah timpang. Dapat dibayangkan, saat Persija menjadi juara perserikatan 1979, jumlah pendukung yang mengaraknya keliling ibukota hanya ribuan orang. Bandingkan dengan persib, yang disambut 1,5 Juta orang di Kota Bandung saat juara tahun 1990, atau PSMS Medan yang di sambut 500 ribu orang yang membanjiri lapangan merdeka. Mau tak mau, berat memang harus diakui, kendati Persija merupakan tim besar dan memiliki banyak prestasi, namun Persija belum mampu merebut hati warga DKI Jakarta yang tak hanya terdiri dari etnis betawi saja. Laga kandang atau tandang Persib saat menghadapi Persija tetap sama saja, Biru selalu berhasil mendominasi warna merah yang merupakan warna kebesaran Persija. Kendati begitu, biru dan merah tetap selalu akur.

Sejarah membuktikan bahwa Persib tak begitu memikirkan persaingan dengan Persija. Persib lebih menakuti PSMS Medan, Persebaya atau PSM Makassar. Jika dipikirkan, terkadang hubungan panas antara Bandung-Jakarta nyatanya bukanlah konflik antara kedua klub seperti rivalitas Celtic-Rangers, Barcelona-Real Madrid dan Liverpool-Manchester United yang terkadang enggan menerima pemain bekas rival. Di Persib malah tak malu menggunakan jasa-jasa pemain Persija, Julukan Maung aroma Macan pun kerap ditujukan kepada Persib sepeti yang terjadi di musim lalu, jadi seperti itukah rival abadi?

Rivalitas Persib-Persija bukanlah konflik antara klub, tapi merupakan konflik antara kedua pendukung supporter yang ironisnya menyerempet ke hal SARA Betawi-Sunda. Sadar atau tidak Masalah ini kadang diperpanas dengan media massa yang seolah memancing ikan di air keruh. Sebenarnya tak ada yang special dari Persija, kalau tidak percaya, silahkan coba saja tanyakan mantan pemain Persib atau bobotoh era 80an.

Malah semakin memperkeruh hubungan dengan Persija sehingga semakin menaikan pamor Persija itu sendiri. Biarkanlah pertandingan Persib versus Persija esok menjadi pertandingan klasik tanpa harus dibumbui “Rival Abadi”. Seiring dengan bergulirnya waktu rival-rival baru akan muncul dan rival-rival lama akan tenggelam, seperti diktum yang diucap Lord Palmerston yang sangat terkenal; “Tidak ada kawan yang abadi, tak ada lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi,”
Jangan sampai kebencian kepada Persija mengalahkan kecintaan kepada Persib, bagaimanapun juga kebencian adalah keuntungan bagi pihak pihak tertentu. Lebih baik fokus mengejar prestasi. karena bagaimanapun juga benarlah apa yang saya katakan dalam sebuah film take shoot pendek “Tanpa pemain besar, Persib akan tetap besar,,Tanpa dibesarkan Media, Persib akan tetap Besar, Karena itu berilah kami karya yang besar, karya yang besar yaitu HARKOS yang besar…hehehe”.

Sumber

Komentar