Langsung ke konten utama

Persib vs Persija = Rival Abadi, Lelucon macam apa ini? (Bagian 1)

Tulisan ini didekasikan kepada Alm. Rangga Cipta Nugraha salah seorang korban yang menambah deretan ribuan orang yang pernah meregang nyawa akibat sepakbola di Indonesia.
Banyak “media massa” atau “bobotoh” selalu memandang pertandingan Persib Bandung versus Persija Jakarta adalah pertandingan panas yang mempertemukan kedua rival abadi. Namun apakah betul demikian Persib versus Persija adalah rival abadi? bagi saya hal itu adalah sebuah lelucon belaka. Lelucon yang didasari oleh kebodohan semata, kebodohan untuk enggan membuka kembali lembaran sejarah antara dua klub pendiri PSSI tersebut.

Saya hanya bisa terkekeh-kekeh melihat beberapa rekan-rekan wartawan yang menggiring opini seolah menyamakan pertandingan Persib dan Persija sama dengan derby-derby panas lainnya di belahan bumi lain, misalkan seperti Derby Classico di Spanyol antara Real Madrid dan Barcelona. Bolehlah menyebut laga Persib Persija sebagai laga bigmatch, namun jika disamakan dengan Derby Classico itu adalah Majas Metamofora terkonyol yang pernah saya dengar.


Patut diingat, persaingan Real dan Barca adalah persaingan antara kaum “pemberontak” di provinsi Catalan melawan “Imperialisme” pemerintahan spanyol di Madrid. Joseph Sunyol melawan Jendral Franco. Benih-benih kebencian antara dua tim, sudah dipupuk sejak kedua klub berdiri puluhan tahun silam, dan diestafetkan dari generasi ke generasi.

Namun apakah rivalitas “Persib Persija” seperti itu? Rivalitas yang bukan hanya sekedar urusan sepakbola semata, tapi menyangkut identitas dan harga diri yang tentunya telah terjadi sejak puluhan tahun silam. Menarik untuk disimak, pemaparan sejarah kedua klub dari awal abad 20 ini.

Awal mula persahabatan Bandung – Jakarta.
Sejarah mencatat, pertandingan sepakbola antara Kesebelasan Bandung melawan Jakarta terjadi di Zaman Kolonial Belanda, tepatnya tanggal 25 Desember 1902 di Lapang Pieters Park (sekarang taman Balaikota). Saat itu, Bataviase Voetbal Club (BVC) asal Jakarta melawan klub BVC Cabang Bandung. (Waktu itu di Bandung belum ada klub sepakbola hanya BVC yang mendirikan cabang di Bandung). Sayang, anak-anak Jakarta berhasil mempecundangi anak-anak Bandung yang dipimpin Eduar Gobee dengan skor telak 5-0. Di laga kedua, dengan tempat yang sama Bandung kembali dibantai dengan Jakarta dengan skor 12-0.

Kekalahan telak ini menjadi cambuk bagi pecinta bola di Bandung, banyak yang stress dan putus asa. Di saat inilah muncul Wim L Kuik yang hadir menyemangati, hingga akhirnya sebulan pasca kekalahan memalukan dari BVC, didirikanlah sebuah Klub sepakbola di Bandung dengan nama Uitspaning Na Ispaning atau lebih dikenal dengan sebutan UNI.

Dalam perkembangannya UNI menjadi sebuah tim yang besar, beberapa klub asal Jakarta seperti BVC, Hercules dan Sparta pun sering berkunjung ke Bandung untuk menantang UNI. Nasib UNI dulu hampir sama dengan seperti Persib di zaman sekarang. Mereka selalu berpindah-pindah lapang, diusir oleh pengelola karena memang tak punya sarana latihan. Sebelum pada akhirnya tanggal 25 April 1925, setelah berjuang selama 22 tahun, UNI akhirnya memiliki lapangan di Jalan Karapitan.
Uniknya, saat launching lapangan itu, UNI menyelenggarakan pertandingan persahabatan melawan klub paling top waktu itu yaitu Hercules asal Jakarta yang dimpimpin Mex De Vries Poltynski. Di laga itu UNI berhasil menang tipis 1-0 melalui tendangan George De Jager yang konon menjadikan dirinya legenda.

Saking kerasnya tendangan Jager sampai menembus jaring dan meninggalkan bekas di papan putih yang terletak di belakang tiang gol. Bekas tendangannya itu diabadikan dengan cat hitam, dan di dinding putihnya dirikan monument untuk mengenang kejayaan UNI. Yang lebih istimewa, kata “Jager” yang diplestekan “Jegerrr” menjadi istilah dalam sepakbola di Indonesia untuk menggambarkan shooting yang keras. Di masa itu, hubungan klub-klub asal Bandung dan Jakarta sangatlah harmonis, kedua kesebelasan silih berkunjung untuk melakukan laga persahabatan.

Bandung- Jakarta bahu membahu melawan Kolonialisme.
Di akhir dekade 1920an, pamor klub-klub milik orang Belanda semakin tersaingi dengan munculnya organisasi sepakbola yang dikelola oleh orang pribumi. Tahun 1923 di Bandung berdiri Bandoeng Indonisische Voetbal Bond (BIVB) selang 5 tahun kemudian di Jakarta 1928 muncul Voetbal Indonisische Jacatra (VIJ). Bersama dengan beberapa bond-bond lainnya bulan April 1930 mereka membentuk suatu organisasi yang bernama PSSI. Ditahun 1931 PSSI baru mulai menjalankan sebuah kompetisi resmi antarkota yang diikuti 7 klub. VIJ lah yang keluar sebagai juaranya. Tahun 1933 BIVB berganti nama menjadi Persib, untuk menyelaraskan dengan tujuan PSSI yang sejalan dengan sumpah pemuda yaitu “Berbahasa satu Bahasa Indonesia,”.

Di awal-awal decade 1930an. Hubungan VIJ dan Persib amatlah erat, kedua pucuk pimpinan tim yaitu MH Thamrin mewakili VIJ dan Otto Iskandardinata perwakilan Persib sering menggelar laga ujicoba persahabatan. Sebagai salah satu tokoh pergerakan nasional, kedua tokoh ini saling bahu membahu berdiskusi untuk menjadikan sepakbola sebagai alat politik perjuangan melawan kolonialiasme Belanda. Di dekade itu, untuk memperebutkan tiket lolos ke babak final 4 besar. Persib dan VIJ harus silih bentrok satu sama lain. Pasalnya yang berhak lolos ke babak final adalah juara regional saja. Waktu itu, VIJ masih masuk dalam regional Jawa Barat. Hubungan VIJ dan Persib yang cukup erat, membuat kedua pengurus selalu silih memberikan dukungan kepada siapapun yang lolos ke babak final.

Patut untuk disimak, sebenarnya rival anak-anak Bandung waktu itu bukanlah Jakarta melaikan Persis Solo. Gesekan antara pendukung, pengurus dan pemain selalu terjadi antara kedua kesebelasan. Gesekan ini bermula, saat Persib di taklukan 2-1 di Final Kompetisi PSSI tahun 1936 di Bandung, yang kemudian dibalas dengan telak di tahun 1937, saat dimana anak-anak Bandung menaklukan Persis 2-1 di Lapangan Sriwedari yang membuat Persib meraih gelar juara untuk pertama kalinya.

Bandung – Jakarta silih tukar menukar pemain.
Kedatangan Jepang ke Indonesia tahun 1942, membuat kegiatan sepakbola otomatis berhenti total, kegiatan-kegiatan PSSI pun dihentikan. Setelah Jepang pergi, tahun 1950 PSSI kembali berbenah, Kompetisi kejuaraan nasional pun kembali digelar. Di tahun itu, dalam sebuah turnamen untuk menyambut kongres PSSI, Persib berhasil menjadi juara. Di tahun itu juga, VIJ melebur menjadi satu dengan klub milik orang Belanda yaitu VBO membentuk sebuah klub baru bernama Persija Jakarta. Dalam penggabungan ini sayang sekali, dalam skuad tim, mayoritas pemain Persija diisi oleh orang–orang Belanda eks VBO.

Di dekade 50an, hilir mudik pemain antara kedua kesebelasan keraplah terjadi. Bintang-bintang Persib seperti Fredy Timisela, Kweet Kiat Sek, Fatah Hidayat, dan Thio Him Tjiang adalah pemain binaan Persija Jakarta. Begitupun sebaliknya. Legenda Persija seperti Soetjipto Soentoro dan Komar, pernah mencicipi dunia sepakbola di Kota Kembang. Sebagai klub-klub amatir, pada hakekatnya, perpindahan pemain bukanlah hal yang rumit. Pemain bisa datang dan pergi karena memang tak terikat kontrak. Kepindahan pemain-pemain Persija ke Bandung biasanya di latarbelakangi oleh faktor pendidikan dan pekerjaan. Seperti Thio Him Tjiang pindah ke Bandung karena kebetulan ia sedang menyelesaikan pendidikan kedokteran di Unpad.

Pada waktu itu hubungan Persib dengan Persija relatif harmonis, Banyaknya pemain Persib yang menghuni tim nasional, membuat anak-anak Bandung sering tampil di Jakarta. Kondisi inilah yang membuat para pecinta sepakbola di Jakarta memiliki kedekatan yang cukup erat dengan pemain-pemain Bandung. Gaung Persib di Jakarta semakin terdengar, pasalnya prestasi Persija di akhir dekade 50an cenderung menurun. Berbeda dengan Persib yang terus meningkat. Karenanya Saingan Persib di waktu itu adalah PSM Makassar bukan Persija Jakarta.

Di zaman itu, PSM sedang menuai zaman kejayaanya, di pimpin oleh Ramang, PSM berhasil menjadi juara nasional 2 kali berturut-turut. Namun dominasi PSM berhasil dihentikan oleh Persib yang berhasil menjadi kampiun di tahun 1961.

Persaingan antara Persib dan PSM sangatlah panas, Setiap laga PSM kontra Persib baik itu di Bandung atau Makassar selalu penuh. Bahkan di tahun 1961, stadion Mattoangin yang hanya memiliki kapasitas penonton 20.000 harus rela dipaksa menampung 50.000 suporter. Di masa itu jumlah 50.000 jiwa sama dengan kira-kira hampir 10 persen dari total jumlah penduduk Makassar yang berjumlah 500 ribu dan pertandingan ini memecahkan rekor jumlah penonton terbanyak selama pertandingan sepakbola digelar di Wilayah Indonesia Timur.

Dalam sejarahnya semenjak tahun 1930an hingga 1960an, baru dua tim yang menjadi rival Persib Bandung yaitu Persis Solo dan PSM Makassar. Seiring dengan berjalannya waktu rival-rival lain akan muncul. (Bersambung ke bagian 2).

Sumber

Komentar